tentangPerjanjicnz Intermsionat Berdasarkan Hukum Perjapýim Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Pajanjian Internasional yang hanya mengatur perjanjian-peijanjian internasional antara negara dan negara saja, dan; Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional antara Organisasi Internasional dan Negara Setiap bangsa di dunia sudah lama saling berhubungan. Atas dasar tersebut, maka dibuatlah ketentuan atas hubungan tersebut yang dapat mengikat dua atau beberapa pihak dalam satu perjanjian yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat. Ketentuan tersebut dikenal dengan istilah perjanjian internasional. Usaha untuk saling menghormati, berhubungan, bekerja sama dan berdampingan dengan damai antar bangsa – bangsa di dunia dapat diwujudkan dengan bantuan perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak, diadakan oleh masyarakat dari bangsa – bangsa dan tujuannya untuk mengakibatkan hukum tertentu. Pihak – pihak tersebut berupa beberapa negara atau juga organisasi internasional. Perjanjian internasional sekaligus menjadi subjek dari hukum internasional, sumber hukum utama dari hukum internasional yang memberi jaminan hukum bagi subjek – subjek dari hukum internasional Belakang Konvensi Internasional WinaSejarah perjanjian internasional dimulai dengan konvensi yang diadakan di Wina, Austria pada tahun 1969 dan dianggap sebagai induk perjanjian internasional. Konvensi Wina atau Vienna Convention on The Law of Treaties adalah suatu perjanjian yang mengatur mengenai hukum internasional antar negara sebagai subjek hukum internasional yang berlangsung pada 23 Mei 1969 dan memasuki into force pada 27 Januari 1980. Sebelum diadakan konvensi Wina 1969 ini perjanjian antar negara secara bilateral dan multilateral diselenggarakan dengan dasar asas – asas dan persetujuan dari negara – negara yang terlibat di dalamnya. Perjanjian internasional antar negara sebelum tahun 1969 diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang dasarnya ada pada praktek negara dan pada keputusan – keputusan dari Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional yang sudah tidak lagi eksis, juga didasarkan pada pendapat para ahli hukum Wina disusun oleh International Law Commission ILC of The United Nation, yang memulai pekerjaannya sehubungan dengan konvensi tersebut pada 1949. Selama 20 tahun persiapan, beberapa versi draft dari konvensi dan komentar disiapkan oleh petugas pelapor khusus dari ILC. Para pelapor khusus ini adalah James Brierly, Hersch Lauterpacht, Gerald Fitzmaurice dan Humphrey Waldock. Pada tahun 1966, ILC telah mengadopsi 75 draft artikel yang membentuk dasar dari pekerjaan finalnya. Selama dua sesi di tahun 1968 dan 1969, Konvensi Wina telah lengkap sehingga dapat diterapkan pada 22 Mei 1969 dan dibuka penanda tanganan pada keesokan Wina 1969 dianggap sebagai induk dari perjanjian internasional kerena pertama kali memuat mengenai ketentuan – ketentuan atau code of conduct yang mengikat sehubungan dengan perjanjian internasional. Konvensi ini mengatur semua hal terkait perjanjian internasional mulai dari ratifikasi, reservasi sampai ketentuan mengenai pengunduran diri negara dari suatu perjanjian yang dilakukan secara internasional, contohnya ketika Amerika Serikat mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002 yang konvensi ini membuat perjanjian antar negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan yang berlaku secara internasional, tetapi diatur oleh suatu perjanjian yang mengikat, menuntut nilai kepatuhan tinggi dari negara – negara anggotanya dan hanya bisa diubah jika ada persetujuan dari seluruh negara anggota konvensi Wina tersebut. Hal ini membuat sejarah perjanjian internasional tidak lagi sama seperti aturan pada kebiasaan internasional sebelumnya yang dapat berubah apabila ada tren internasional yang baru. Hal – hal yang dapat membatalkan perjanjian bisa terjadi apabila terjadi kecurangan, pelanggaran, pihak yang dirugikan dan ancaman dari satu pihak. Sementara penyebab berakhirnya perjanjian adalah jika salah satu pihak punah, masa perjanjian habis, salah satu atau kedua pihak ingin mengakhiri dan ada pihak yang dirugikan oleh pihak lainnya. Ketahui juga mengenai sejarah demokrasi di dunia, sejarah berdirinya Gerakan Non Blok dan Sejarah Berdirinya demikian Vienna Convention 1969 dalam sejarah perjanjian internasional dianggap sebagaii induk dari pengaturan mengenai perjanjian internasional. Konvensi ini juga merupakan konvensi pertama yang berisi pengaturan perjanjian internasional baik pengaturan secara taknis maupun material dan berisi ketentuan yang merupakan kumpulan dari berbagai kebiasaan internasional yang berlaku selama ini, yang berkaitan dengan perjanjian Perjanjian InternasionalHingga Januari 2018 dalam sejarah perjanjian internasional, Vienna Convention telah diratifikasi oleh 116 negara dan sejumlah 15 negara telah menanda tangani namun belum meratifikasi konvensi tersebut. Sebagai tambahan, Republik of China Taiwan yang saat ini hanya diakui oleh 16 negara anggota PBB, menanda tangani perjanjian pada tahun 1970 sebelum voting yang dilakukan oleh Dewan Umum PBB untuk memindahkan kursi Cina kepada Republik Rakyat Cina atau People’s Republic of China PRC pada tahun 1971. PRC kemudian ditambahkan ke dalam konvensi. Sebanyak 66 anggota PBB belum menanda tangani ataupun meratifikasi Konvensi tersebut. Ketahui juga mengenai sejarah perjanjian Hudaibiyah, sejarah perjanjian Pangkor, sejarah perjanjian Aqabah dan sejarah perundingan dan Dampak Konvensi WinaKonvensi Wina mengkodifikasi beberapa ganjalan dalam hukum internasional kontemporer, mendefinisikan sebuah perjanjian sebagai “suatu persetujuan internasional yang disimpulkan antara negara – negara dalam bentuk tulisan dan diatur dalam hukum internasional” dan juga mengafirmasi bahwa “setiap negara memiliki kapasitas untuk menyimpulkan perjanjian”. Artikel pertama membatasi penerapan dari konvensi kepada perjanjian tertulis antara negara – negara, tidak termasuk perjanjian yang diadakan antara negara dan organisasi internasional atau antar organisasi internasional itu tersebut disebut sebagai “perjanjian diatas perjanjian” dan dikenal secara luas sebagai petunjuk yang berwenang sehubungan dengan pembentukan dan efek perjanjian. Bahkan negara – negara yang belum meratifikasinya mengetahui tingkat signifikansinya. Contohnya, Amerika Serikat mengakui bagian dari konvensi yaitu merupakan hukum yang mengikat semua negara. Di India, Pengadilan Tertinggi juga mengakui status dari konvensi KonvensiCakupan dari konvensi Wina terbatas, hanya diaplikasikan kepada perjanjian yang disimpulkan antara negara – negara sehingga tidak mencakup persetujuan antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi itu sendiri, sebagaimana telah disebut di atas. Walaupun demikian, jika ada peraturan yang mengikat secara independen organisasi – organisasi tersebut, peraturan tersebut tetap ada. Juga berlaku pada perjanjian antara organisasi antar pemerintah. Walaupun demikian, persetujuan antara negara dan organisasi internasional atau antar organisasi tersebut akan diatur oleh jika Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International Organizations 1986 memasuki tahap into sejarah perjanjian internasional mengandung peraturan mengenai entitas apa yang dapat menandatangani, meratifikasi atau menyetujui. Beberapa perjanjian terbatas kepada negara yang menjadi anggota PBB atau peserta dari Mahkamah Internasional. Dalam kasus langka ada daftar eksplisit dari entitas yang dibatasi tersebut. Lebih umum lagi bahwa tujuan dari penandatanganan adalah bahwa perjanjian tersebut tidak dibatasi kepada negara tertentu saja terlihat dari istilah yang menyatakan bahwa perjanjian dibuka untuk penandatanganan kepada negara – negara yang bersedia menerima ketentuannya. Ketika sebuah perjanjian dibuka untuk “negara”, akan sulit bagi otoritas penyimpan untuk menentukan entitas mana yang merupakan suatu negara. Jika perjanjian dibatasi untuk para anggota PBB atau pihak – pihak pada Statuta Mahkamah Internasional, maka tidak ada tetapi terjadi suatu kesulitan sehubungan dengan adanya kemungkinan partisipasi dalam sejarah perjanjian internasional ketika suatu entitas yang tampaknya bukan negara tidak dapat diterima di PBB atau pada Statuta Mahkamah Internasional karena alasan oposisi, politik, alasan dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB atau belum mengajukan keanggotaan. Kesulitan tidak terjadi ketika menyangkut keanggotaan dalam badan – badan khusus dan tidak ada prosedur veto, maka sejumlah negara tersebut menjadi anggota badan – badan khusus dan pada dasarnya menjadi diakui sebagai negara – negara oleh komunitas internasional. Karena itulah untuk memungkinkan perluasan partisipasi, sejumlah konvensi juga menetapkan keterbukaan mereka bagi anggota negara yang berasal dari badan – badan khusus. Jenis klausul pemberlakuan tentang Hukum Perjanjian dalam Konvensi Wina kemudian dikenal dengan nama “Formula Wina”, digunakan oleh berbagai perjanjian, konvensi dan organisasi. Menurutpasal 4 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang Hubungan Diplomatik, negara pengirim harus memastikan bahwa persetujuan(agrement) negara penerima telah dibe
0% found this document useful 0 votes6K views3 pagesDescriptionKONVENSI WINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL PART 1 A. Pendahuluan Suatu hal yang tak dapat dipungkiri ialah saling membutuhkannya antara Negara yang satu dengan Negara yang lainnya yang di berbagai lapangan kehidupan, tentunya hal tersebut mengakibatkan hubungan yang terus menerus bahkan tetap antara bangsa bangsa. Sehingga tentunya diperlukan suatu aturan untuk memelihara dan mengatur hubungan yang demikian tersebut. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang munculnya Hukum POriginal TitleHUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI WINA 1969 part 1Copyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes6K views3 pagesHUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI WINA 1969 Part 1Original TitleHUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI WINA 1969 part 1DescriptionKONVENSI WINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL PART 1 A. Pendahuluan Suatu hal yang tak dapat dipungkiri ialah saling membutuhkannya antara Negara yang satu dengan Negara yang …Full description
Secaraumum dapat dikatakan, bahwa UU ini sudah lebih lengkap jika dibandingkan dengan Surat Presiden di atas. Akan tetapi, UU ini menyatukan antara perjanjian internasional yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, padahal keduanya walaupun ada cukup banyak persamaan, juga ada perbedaannya.
Disarikan oleh Rozy Fahmi, SH., MH Founder & Partner RFA Law Office Perjanjian internasional mengandung suatu tujuan yang hendak dicapai secara kolektif oleh para pihak, baik perjanjian internasional yang ruang lingkupnya bilateral maupun multilateral. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya sengketa atau perselsihan terkait perjanjian internasional, maka perlu adanya asas-asas dalam hukum perjanjian internasional. Mengenai asas-asas tersebut, terkandung dalam VCLT 1969 1969, antara lain Asas Free Consent. Asas free consent merupakan perkembangan dari asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan asas ini, maka setiap proses perundingan harus disepakati berdasarkan kebebasan para pihak untuk menyatakan kehendaknya. Perjanjian internasional yang tidak didasarkan pada asas kesukarelaan ini, atau jika didasarkan pada tekanan-tekanan, maka akan dapat menimbulkan akibat hukum seperti batal void ataupun tidak sahnya perjanjian tersebut.[1] Asas Itikad Baik Good Faith. Asas itikad baik merupakan asas yang sudah harus menjadi perhatian sejak pendekatan-pendekatan informal dari para calon pihak peserta perjanjian. Pendekatan-pendekatan informal ini yang kemudian berlanjut menjadi pendekatan-pendekatan formal berupa perundingan, penerimaan, pengotentikan, pengikatan diri, pemberlakuan, pelaksanaan, hingga berakhirnya perjanjian inetrnasional. Asas itikad baik ini dapat tercermin dari setiap praktek para pihaknya, bahkan sebelum perjanjian internasional tersebut mulai berlaku.[2] Pacta Sunt Servada. Asas yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat menjadi undang-undang bagi yang membuatnya. Asas ini menjadi asas yang paling fundamental dalam sebuah perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Dikatakan fundamental karena asas tersebut yang melandasi lahirnya perjanjian, termasuk perjanjian internasional dan melandasi dilaksanakannya perjanjian sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Tanpa adanya janji-janji yang telah disepakati tidak akan lahir perjanjian. Perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana janji-janji yang diberikan oleh para pihak.[3] Asas Pacta Tertulis Nec Nocent Nec Prosunt. Asas ini terlihat secara eksplisit pada Pasal 34 VCLT 1969 1969 yang berbunyi “A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent”. Berdasarkan asas ini, maka setiap hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional hanya mengikat para pihak pembuatnya yang dengan kata lain tidak menimbulkan baik hak maupun kewajiban pada pihak ketiga, kecuali pihak ketiga yang bersangkutan menyetujui. Asas ini terkait dengan asas pacta sunt servanda yang secara linear terkait dengan asas free consent, yakni setiap pihak peserta perjanjian internasional haruslah menyepakatinya, dan bukan hanya menyepakati, tetapi juga menyepakati secara sukarela.[4] Perjanjian internasional yang tanpa persetujuan pihak ketiga tetapi melahirkan hak ataupun kewajiban kepada negara pihak ketiga tersebut, maka telah melanggar asas free consent. Asas Non-Retroactive. Asas non-retroactive menyatakan bahwa suatu kaidah hukum tidak dapat berlaku surut. Pada Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, asas non-retroactive diatur pada Pasal 28 yang berbunyi “Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, its provisions do not bind a party in relation to any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the date of the entry into force of the treaty with respect to that party”. Berdasarkan pasal tersebut, asas non-retroactive tidaklah bersifat mutlak. Akan tetapi ketidakmutlakan tersebut secara mutlak memerlukan kesepakatan yang dibangun oleh para pihak peserta perjanian internasional. Sehingga, asas non-retroactive juga merupakan asas yang selalu terkait dengan asas itikad baik dan asas free consent, yaitu bahwa kesepakatan mengenai berlaku surut atau tidaknya suatu perjanjian internasional harus berdasarkan kehendak sukarela yang termanifestasikan dalam perjanjian yang dimaksud. Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 28 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional tersebut dikatakan bahwa “If, however, an act or fact or situation which took place or arose prior the entry into force of a treaty continues to occur or exist after the treaty has come into force, it will be caught by the provisions of the treaty”. Berdasarkan penjelasan tersebut maka muncul perdebatan mengenai kapan tepatnya suatu perjanjian internasional mulai berlaku. Hal ini terkait bahwa istilah “come into force” yang berarti lahirnya kekuatan mengikat berbeda dengan istilah “enter into force”. Jika tidak ditentukan lain, maka suatu perjanjian “enter into force” bersamaan dengan pada saat perjanjian internasional tersebut memperoleh daya mengikat “come into force”.[5] Bagi suatu negara seperti Indonesia, suatu perjanjian internasional menjadi berlaku ketika sudah diratifikasi, yang tanggal ratifikasi tidak selalu sama dengan tanggal lahirnya kekuatan mengikat. Asas Rebus Sic Stantibus. Asas rebus sic stantibus merupakan asas yang memberi kemungkinan bagi negara yang mengalami perubahan drastis fundamental change of circumstances untuk melakukan penarikan diri dari suatu perjanjian internasional. Kemungkinan penarikan diri tersebut terkait dengan bahwa jika tetap mengikatkan diri pada perjanjian internasional tersebut maka akan membahayakan eksistensi negara tersebut. Pemberlakuan asas rebus sic stantibus ini kemudian akan menyinggung penerapan asas pacta sunt servanda. Bahwa negara yang akan memanfaatkan asas rebus sic stantibus kemudian akan mengggerus kekuatan asas pacta sunt servanda.[6] Namun demikian pada Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional telah diatur mengenai mekanisme pengunduran diri sebagaimana tercantum pada Pasal 54 yang mengatakan bahwa untuk dapat mengundurkan diri maka harus mengukuti cara yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan, atau dengan cara mendapat persetujuan dari seluruh pihak peserta perjanjian internasional yang bersangkutan. Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internsional juga telah mengaturnya sendiri pada bagian Amendment and Modification of Treaties. Bagian tersebut mengatur mengenai perubahan perjanjian internasional. Sehingga penggunaan asas rebus sic stantibus juga dapat diakomodir melalui mekanisme amandemen jika dimungkinkan sebelum suatu negara dapat melakukan pengunduran diri karena alasan perubahan drastis yang mengharuskannya. Asas Reciprositas. Adalah asas yang menyatakan bahwa tindakan suatu Negara terhadap Negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat positif maupun negatif. Asas ini berkembang dalam perkembangan hukum internasional karena ketiadaan otoritas yang dapat memaksakan kehendak dalam inisiatif pembuatan perjanjian internasional, sehingga perjanjian yang dibuat harus memiliki keseimbangan timbal balik.[7] Pada Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, asas resiprositas tercermin pada Pasal 60 mengenai pengakhiran perjanjian internasional dikarenakan adanya pelanggaran perjanjian. Penggunaan asas timbal balik merupakan hal yang umum misalnya dalam perjanjian-perjanjian mengenai tarif dan hak cipta. Ius Cogens Ius cogens merupakan ketentuan-ketentuan pendahulu preemptory rules yang dianggap sebagai ketentuan yang bersifat fundamental sebagai landasan keteraturan publik secara internasional. Ide mengenai ius cogens dikemukakan oleh Grotius yang awalnya merupakan konsep ius strictum yang selanjutnya berkembang oleh aliran natural law.[8] International Law Commission memasukkan konsep ius cogens ke dalam VCLT 1969 1969 pada Pasal 53 “A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. For the purposes of the present Convention, a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character”. Pasal 53 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional tersebut mengaskan bahwa suatu perjanjian internasional akan void apabila bertentangan dengan ius cogens dan juga menekankan bahwa terhadap ius cogens tersebut tidak dapat dilakukan derogation. Adapun yang termasuk sebagai ius cogens berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh International Law Commission adalah[9] pelanggaran serius terhadap hukum yang mengatur kedamaian dan keamanan; pelanggaran serius terhadap hak untuk menentukan diri sendiri self determination; pelanggaran serius terhadap kewajiban internasional untuk melindungi hak asasi manusia; pelanggaran serius kewajiban untuk melindungi lingkungan. Terhadap kejahatan-kejahatan tersebut maka muncul kewajiban erga omnes yaitu bahwa setiap negara berkewajiban mengadili para pelaku kejahatan tersebut karena telah mengganggu tatanan kehidupan global. Oleh karena itu, Pasal 53 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional bukan hanya mengatur bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ius cogens, tetapi juga secara definitif memandatkan kepada setiap negara suatu pengakuan atas keberadaan kejahatan lintas negara yang pada akhirnya memberi kewajiban erga omnes pada setiap negara. [1] I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju, Bandung, 2005, Hal. 262 [2] Ibid [3] Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum, Vol. 21 Nomor 1, Februari 2009, Hal. 157 v [4] I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Hal. 262 [5] Budiono Kusumohadidjojo, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, Hal. 13 [6] Ibid, Hal 17 [7] Francesco Parisi dan Nita Ghei, The Role of Reciprocity in Internatinal Law, dari diakses pada hari Minggu 15 Januari 2017 [8] Alina Kaczorowska, Public International Law, Old Bailey Press, London, 2002, Hal. 32 [9] Ibid, Hal. 33 Peranannyaberkaitan dengan menjalankan fungsi negara di dalam perbuatan peraturan atau pemberian izin, bagaimana negara melakukan pencegahan terhdadap sesuatu hal yang dapat terjadi, dan bagaimana upaya hukumnya. Antara Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan tersebut

Berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Internasional. Wanita beserta keluarganya berdasarkan uu no. Dalam konvensi wina 1969 tentang hukum perjanjian internasional, ketentuan mengenai. HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL KONVENSI WINA 1969 DAN 1986 from Satu sumber utama hukum internasional dan telah menjadi prinsip hukum umum general principles of law adalah perjanjian, yang mengikat para pihak. Vienna convention on the law of treaties 1969 vienna convention 1969 mengatur mengenai perjanjian internasional publik antar negara sebagai subjek utama hukum. Berdasarkan konvensi wina mengenai hukum internasional, setelah perundingan selesai maka dilanjutkan pahap tahap selanjutnya, yaitu. Wanita Beserta Keluarganya Berdasarkan Uu Februari 2019, Perjanjian Ini Baru Diratifikasi Oleh 32 Negara Dan 12 Organisasi Internasional,.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Pada Umumnya “Copy Paste” Dari Konvensi Wina 1969 Dan 1986 Mengatur Elemen Internal IndonesiaMenurut Konvensi Wina 1969, Ada Beberapa Hal Yang Bisa Menyebabkan Batal Atau Berakhirnya Sebuah Perjanjian Convention On The Law Of Treaties 1969 Vienna Convention 1969 Mengatur Mengenai Perjanjian Internasional Publik Antar Negara Sebagai Subjek Utama Hukum. Wanita Beserta Keluarganya Berdasarkan Uu No. Dalam konvensi wina 1969 tentang hukum perjanjian internasional, ketentuan mengenai. Dalam konvensi wina tahun 1969 tentang hukum perjanjian internasional disebutkan bahwa dalam pembuatan perjanjian. Dalam konperensi wina tahun 1969 telah berhasil disepakati sebuah naskah perjanjian yang lebih dikenal dengan nama “viena convention on the law of treaties” atau. Pada Februari 2019, Perjanjian Ini Baru Diratifikasi Oleh 32 Negara Dan 12 Organisasi Internasional,. 30 ketentuan internasional yang mengatur masalah. Konvensi wina 1969 pasal 2 Guru geografi berbagi pengetahuan geografi, traveling dan tutorial blogging. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Pada Umumnya “Copy Paste” Dari Konvensi Wina 1969 Dan 1986 Mengatur Elemen Internal Indonesia For the purposes of the present convention; Dalam konvensi wina tahun 1969 tentang hukum perjanjian internasional disebutkan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional, baik bilateral maupun. Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber utama hukum internasional sebagaimana dijelaskan dalam pasal 38 ayat 1. Menurut Konvensi Wina 1969, Ada Beberapa Hal Yang Bisa Menyebabkan Batal Atau Berakhirnya Sebuah Perjanjian Internasional. Dasar pertimbangan peraturan ini Satu sumber utama hukum internasional dan telah menjadi prinsip hukum umum general principles of law adalah perjanjian, yang mengikat para pihak. Berdasarkan konvensi wina mengenai hukum internasional, setelah perundingan selesai maka dilanjutkan pahap tahap selanjutnya, yaitu. Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969 Vienna Convention 1969 Mengatur Mengenai Perjanjian Internasional Publik Antar Negara Sebagai Subjek Utama Hukum. Berikut jawaban yang paling benar dari pertanyaan Periode 1954 sampai 1971 masalah pencemaran laut diatur secara hukum internasional pertama kali pada tahun 1954. Berdasarkan ketentuan pasal 264 ayat 5 uu no 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan uu no.

Namundemikian Konvensi Wina ini masih tetap mengakui eksistensi hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya tentang persoalan-persoalan yang belum diatur dalam Konvensi Wina. Konvensi Wina 1969 ini erat hubungannya dalam penanggulangan kejahatan carding, karena kejahatan carding merupakan kejahatan transnasional, sehingga
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 Vienna Convention 1969 mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional sekarang sudah tidak ada lagi maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional sebagai perwujudan dari opinion juris. Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan code of conduct yang mengikat mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional seperti yang dilakukan AS, mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002 lalu. Dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsen dari seluruh Negara anggota Vienna Convention tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah apabila ada tren internasional baru. Maka Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya. Untuk referensi mengenai Vienna Convention 1969 ini lebih jelasnya dapat dilihat dari general comment dan traveaux preparatoir dari konvensi ini maupun dari buku-buku karangan Elias dan Sinclair mengenai Law of Treaties. Ditulis dalam PKn
PadaSkripsi ini penulis mengangkat permasalahan hukum mengenai Penyadapan Berdasarkan Konvensi New York 1969 tentang Misi Khusus (Studi Kasus Penyadapan Misi Khusus Turki dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 Tahun 2009 di London). Judul tersebut dilatar belakangi oleh permasalahan hukum internasional bahwa belum adanya hukum internasional yang secara khusus mengatur tentang penyadapan.
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian adalah sebuah perjanjian internasional yang berisi tentang hukum perjanjian antar negara. Perjanjian tersebut ditetapkan pada 23 Mei 1969[3] dan dibuka untuk penandatanganan pada 23 Mei 1969.[1] Konvensi tersebut mulai berlaku pada 27 Januari 1980.[1] Perjanjian ini telah diratifikasi oleh 116 negara pada Januari 2018.[2] Konvensi Wina tentang Hukum PerjanjianKonvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Negara anggota Penandatangan Non-negara anggota Ditandatangani23 Mei 1969LokasiWinaEfektif27 Januari 1980SyaratRatifikasi oleh 35 negara[1]Penanda tangan45Pihak116 pada Januari 2018[2]PenyimpanSekjen PBBBahasaArab, Tionghoa, Inggris, Prancis, Rusia dan Spanyol[1] Vienna Convention on the Law of Treaties di Wikisource
KonvensiWina 1969. Dalam Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu seperti pengawasan Dalam konsiderans ketujuh Konvensi Wina tahun 1969 menunjukkan bahwa hukum kebiasaan internasional akan tetap berlaku. Bila ketentuan ini kita hubungkan dengan Pasal 38 ayat 1b Statuta Mahkamah Internasional di mana ditentukan internasional custom, as evidence of a general practice accepted as law kebiasaan-kebiasaan internasional sebagai terbukti telah merupakan praktik-praktik umum yang diterima sebagai hukum. Dari perumusan tersebut harus dibedakan antara praktik-praktik umum atau disebut dengan kebiasaan usage dan hukum kebiasaan internasional custom. SINAR GRAFIKA Menurut Brownlie5 a usage is general practice which does not reflect a legal obligation. Jadi kebiasaan internasional adalah praktik-praktik umum yang dipraktikkan dalam hubungan internasional tetapi tidak merefleksikan kewajiban hukum. Sebagai contoh misalkan penerimaan tamu negara yang disambut dengan dentuman meriam, ini merupakan kebiasaan internasional dan tamu negara pada suatu negara tidak dapat menuntut harus disambut dengan dentuman meriam. Menurut Mochtar Kusumaatmadja6 kebiasaan umum menjadi hukum kebiasaan. Unsur pertama perlu adanya suatu kebiasaan, yaitu suatu pola induk yang berlangsung lama yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa. Serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa itu harus bersifat umum dan berkaitan dengan hubungan internasional. Bila unsur-unsur tadi dipenuhi maka dapat dikatakan bahwa telah ada kebiasaan internasional yang bersifat umum. Unsur kedua adalah unsur psikologis menghendaki bahwa kebiasaan internasional dilakukan memenuhi kewajiban kaidah atau kewajiban hukum, yang dikenal sebagai opinio juris sive necessitas. Sedangkan menurut Akehurst’s7 bahwa kebiasaan menjadi hukum kebiasaan harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah adanya suatu praktik umum dan unsur subjektif adalah diterima sebagai hukum dan mengikat, ini disebut dengan opinio juris. Menurut Akehurst’s opinio juris is sometimes interpreted to mean that states must believe that something is already law before it can become law. Jadi opinio juris kadang-kadang diinterpretasikan bahwa suatu negara harus percaya bahwa sesuatu telah merupakan ketentuan hukum walaupun itu belum menjadi hukum. Jadi yang penting adalah adanya keyakinan bahwa suatu negara percaya bahwa kebiasaan itu telah menjadi hukum kebiasaan. Ada kemungkinan bahwa beberapa negara telah mengklaim bahwa suatu kebiasaan telah merupakan hukum dan negara lain tidak menyetujui klaim tersebut, tetapi semua negara boleh melihat kenyataan bahwa telah ada permulaan adanya peraturan yang akan berlaku. 5 Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford, Claredon Press, 1973, hlm. 5. 6 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Alumni, hlm. 144. 7 Akehurst’s, Modern Introduction to International Law, London, New York, Routledge, Seventh Revised Edition, hlm. 39. SINAR GRAFIKA Berapa lama diperlukan suatu kebiasaan menjadi hukum kebiasaan. Dalam kenyataan tidak ada periode waktu yang diperlukan suatu kebiasaan internasional menjadi hukum kebiasaan internasional. Lama atau singkat waktu yang diberlakukan tidak merupakan persyaratan. Pada umumnya perjanjian multilateral merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional. Sebagai contoh Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik Tahun 1963. Contoh lainnya, yaitu kebiasaan tentang ketentuan landas kontinen yang telah dipraktikkan oleh negara-negara yang kemudian dikokohkan dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1958. Namun ada juga suatu norma yang diwujudkan dalam suatu perjanjian internasional yang kemudian diikuti oleh negara-negara yang bukan peserta perjanjian dan kemudian ini dapat merupakan opinio juris dan proses ini dapat merupakan evolusi dari hukum kebiasaan hukum internasional yang dipraktikkan antara negara pihak perjanjian dan negara bukan pihak perjanjian. Proses ini juga mungkin terjadi bila perjanjian tersebut belum berlaku. Sebagai contoh ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea ditandatangani pada 10 Desember 1982, banyak ketentuan dalam konvensi yang merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional. Perundingan yang diadakan dalam rangka Konvensi Hukum Laut 1982 didasarkan pada konsensus, walaupun hasil akhir diputus berdasarkan pemungutan suara Konvensi Hukum Laut tersebut berlaku pada tahun 1994. Sebelum konvensi itu berlaku banyak ketentuan-ketentuan dalam konvensi yang diterima sebagai hukum kebiasaan internasional. Ada kemungkinan juga ketentuan-ketentuan dalam perjanjian bilateral, misalkan tentang Investasi dan Perlindungannya, dapat dalam keadaan tertentu menjadi Hukum Kebiasaan Dapat kami simpulkan kuatnya hubungan antara Hukum Kebiasaan Internasional dan Perjanjian Internasional. 8 Anthony Aust, hlm. 10. SINAR GRAFIKA Bab 3 ini terbagi dalam tiga seksi section berikut. a. Seksi 1 pembuatan perjanjian internasional Pasal 6–Pasal 18. b. Seksi 2 reservasi/reservation Pasal 19–Pasal 23. c. Seksi 3 berlakunya dan pelaksanaan perjanjian internasional/entry in to force and provisional application Pasal 24–25. A. PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Pasal 6 Capacity of states to conclude treaties Every State possesses capacity to conclude treaties Ketentuan ini menegaskan bahwa negara sebagai subjek hukum inter nasional mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian. Negara di sini diartikan sebagai negara yang berdaulat. Sebagaimana kita ketahui bahwa tahap-tahap yang dilalui untuk pembuatan perjanjian internasional adalah – perundingan negotiation, – penandatanganan signature, dan – bila diperlukan ada tahap ratifikasi. Tahap perundingan biasanya didahului oleh pendekatan-pendekatan oleh pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian internasional, pendekatan-pendekatan ini dalam bahasa diplomatik disebut dengan lobbying. Lobbying Bab 3 PEMBUATAN DAN BERLAKUNYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL CONCLUSION AND ENTRY INTO FORCE OF TREATY SINAR GRAFIKA dapat dilakukan secara formal maupun secara non formal. Bila dalam lobbying telah ada titik terang tentang kesepakatan tentang suatu masalah, maka akan diadakan perundingan secara resmi. Perundingan resmi ini akan dilakukan oleh orang-orang yang resmi mewakili negaranya untuk mengadakan perundingan, menerima kesepakatan yang telah dirumuskan, dan mengesahkannya. Konvensi tahun 1969 ini menentukan tentang siapa yang berhak untuk mewakili negaranya. Hal ini ditentukan dalam Pasal 7. Pasal 7 Full powers 1 A person is considered as representing a State for the purpose of adopting or authenticating the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent of the State to be bound by a treaty if a he produces appropriate full powers; or b it appears from the practice of the States concerned or from other circumstance that the intention was to consider that person as representing the state for such purposes and to dispence with full powers. 2 In virtue of their functions and without having to produce full powers the following are considered as representing their State a Heads of state, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs for the purpose of performing all acts relating to the conclusion of a treaty; b Heads of diplomatic missions for the purpose of adopting the text of a treaty between the accrediting State and the State to which they are accredited; c Representatives accredited by State to international conference or to an international organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text of a treaty in that conference, organization or organ. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat 1 jelas menunjukkan bahwa yang berhak di-beri kan kewenangan penuh full powers pada seorang yang berhak mewakili negaranya dan merupakan pengamanan dasar sebagai wakil negaranya dalam melakukan tindakan-tindakan atas nama negaranya untuk berunding, menerima, dan mengesahkan suatu perjanjian. Pada saat permulaan perkembangannya, maka permintaan adanya full powers ini selalu diminta dalam mewakili negaranya, persyaratan ini masih tetap diperlukan dalam pembuatan perjanjian formal. Dalam SINAR GRAFIKA perkembangan modern banyak perjanjian yang dibuat kurang formal atau lebih sederhana maka full powers ini tidak diperlukan lagi. Pada era komunikasi belum canggih, saat itu full powers mempunyai arti yang penting. Pada zaman dulu, raja-raja dalam mengirim utusannya untuk berunding selalu melengkapi utusannya dengan full powers, karena wakil-wakil yang dikirim kesulitan mengadakan komunikasi dengan rajanya. Pada saat teknologi komunikasi telah canggih seperti saat ini maka utusan-utusan negara dengan mudah mengadakan konsultasi dengan negaranya. Utusan negara bila hendak mengadakan hubungan dengan pemerintahnya dapat melalui telepon, telex, email, dan cara-cara canggih lainnya. Setiap saat utusan negaranya dapat dengan mudah mengadakan hubungan dengan pemerintahnya, seperti melaporkan hasil perundingannya. Konvensi Wina tahun 1969 agaknya telah mengantisipasi masalah ini, sehingga pada Pasal 7 ayat 1b menentukan bahwa utusan suatu negara dapat dibebaskan dari kewajiban menunjukkan surat kuasanya bila hal tersebut telah menjadi praktik negara-negara yang berunding. Pada saat ini masalah full powers sudah dianggap tidak terlalu penting, disebabkan hal-hal 1. Berakhirnya monarchi absolute pada akhir abad ke-18, di mana ada kecenderungan mengadakan kontrol diplomatik terhadap politik luar negeri. Perkembangan ini terutama setelah revolusi Amerika dan revolusi Perancis, di mana negara-negara telah mempraktikkan ratifikasi untuk perjanjian yang dianggap penting bagi negaranya, meskipun para delegasi negaranya telah melaksanakan perundingan sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya. 2. Meningkatkan peran komunikasi yang mempergunakan sarana elektronik, di mana mudah memonitor apakah delegasinya telah melaksanakan tugasnya dengan baik. 3. Adanya tendensi bahwa negara mengadakan perjanjian dengan cara yang sederhana, misalkan tukar-menukar suatu dokumen exchange of note. Perjanjian semacam ini tidak diperlukan full powers. Suatu anggota delegasi suatu negara bila akan mengikuti Sidang Umum PBB, menurut Pasal 27 Rules of Procedure of the General Assembly dilengkapi dengan credential atau surat kepercayaan, dan surat kepercayaan ini diserahkan 9 Sinclair, ibid., hlm. 28. SINAR GRAFIKA kepada Sekjen PBB sebelum sidang umum dimulai. Tidak diperlukan full powers untuk mengikuti sidang Majelis Umum PBB dapat dimengerti karena resolusi Majelis Umum PBB tidak memerlukan tanda tangan negara Indonesia dalam praktiknya memisahkan full powers dan credential, untuk menghadiri konferensi internasional delegasi RI dilengkapi dengan credential. Credential dikeluarkan untuk delegasi yang akan menghadiri konferensi dan bukan untuk menandatangani suatu perjanjian. Sedangkan full powers dikeluar-kan untuk memberi wewenang menandatangani perjanjian internasional. Baik credential maupun full powers dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri lihat Pasal 7 ayat 1 dan ayat 3 Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional Nomor 24 Tahun 2000. Pemisahan antara full powers dan credential ini didasarkan pada praktik, bahwa kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian internasional perlu dipelajari dulu oleh instansi-instansi terkait, setelah itu baru ditandatangani. Oleh karena itu, full powers perlu dikeluarkan bila utusan negara dalam perundingan tersebut berhak menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional yang memerlukan surat kuasa Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Sedangkan surat kepercayaan credential untuk merundingkan dan/ atau menerima suatu perjanjian Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Dalam konferensi internasional tanda tangan untuk otentifikasi naskah tidak diperlukan full powers. Pasal 7 ayat 2 konvensi Wina Tahun 1969, memberikan perumusan pada tiga kategori orang-orang yang menurut hukum internasional dikategorikan sebagai pejabat yang dapat mewakili negaranya tanpa menunjukkan full powers. Untuk itu wakil dari negara lain harus mengakui kualifikasi orang tersebut dan menghormati nya tanpa meminta bukti. Pejabat-pejabat yang dianggap dapat mewakili negaranya adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Menteri Luar Negeri. Menteri Luar Negeri adalah sebagai orang istimewa yang mewa-kili negaranya dalam hubungan luar negeri. Kedudukan Menteri Luar Negeri sebagai pejabat yang dapat mengikatkan negaranya diakui oleh Mahkamah Internasional Permanen dalam status Greenland Timur sehubungan dengan IHLEN 10 BPHN, Naskah Akademi Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian Internasional, Tahun 1979–1980, hlm. 35. 11 Legal Status of Eastern Greenland PCIJ 1933, Series A/B Nomor 53, hlm. 71. SINAR GRAFIKA Kelompok kedua adalah kepala perwakilan yang mewakili negaranya, sebagai pejabat yang berhak mewakili negaranya dalam hubungan untuk membuat perjanjian internasional antara negara yang diwakili dengan negara di mana ia ditempatkan. Bila ini dihubungkan dengan Konvensi Diplomatik Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961, Pasal 3 ayat 1c fungsi dari seorang diplomat di antaranya mengadakan perundingan dengan negara tuan rumah. Kewenangan diplomat dalam menjalankan fungsinya, dibatasi dalam hal-hal yang ditetapkan dalam hukum internasional. Kelompok ketiga adalah perwakilan negara yang diakreditasikan pada organisasi internasional atau perlengkapannya, fungsinya di antaranya untuk maksud menerima suatu teks perjanjian yang diadakan oleh organisasi inter-nasional tersebut. Pasal 8 Subsequent conformation of an act performed without authorization An act relating to the conclusion of a treaty performed by a person who cannot be considered under article 7 as authorized to represent a State for that purpose is without legal effect unless afterwards confirmed by that State. Pasal ini mengatur dalam hal perjanjian internasional yang dibuat oleh orang-orang yang tidak termasuk kelompok orang yang disebutkan dalam Pasal 7 maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, kecuali kemudian disahkan oleh pejabat yang berwenang dari negaranya. 1. Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Sebelumnya telah dijelaskan tahap-tahap untuk membuat perjanjian inter-nasional adalah perundingan, penandatanganan, dan bila diperlukan dengan ratifikasi. Dalam tahap perundingan biasanya telah ada draf yang diajukan untuk dibicarakan. Dalam pembicaraan tadi timbullah usul-usul, amandemen, dan kontra amandemen. Jika ada kesepakatan maka disusunlah draf perjanjian oleh panitia perumus, tahap ini diikuti dengan tahap penerimaan naskah. Dalam perjanjian bilateral, penerimaan naskah secara bulat oleh para pihak akan mudah dicapai. Demikian pula pada perjanjian multilateral yang pihaknya tidak terlalu banyak terbatas, tidak sulit untuk mengambil keputusan dengan secara bulat. Namun dalam perjanjian internasional di mana pihaknya SINAR GRAFIKA mencapai jumlah yang besar, pengambilan keputusan dengan suara bulat akan sukar dicapai. Dalam praktik, para peserta konferensi menentukan sendiri cara pemungutan suara untuk penerimaan Penerimaan naskah harus dibedakan dengan pengesahan teks authenti-fication of the text. Bila draf telah diterima oleh para peserta, maka dilanjutkan dengan pengesahan. Dalam perjanjian multilateral, pengesahan ini didahului dengan penerimaan teks adoption of the text. Tahap selanjutnya wakil-wakil pihak yang ikut berunding akan membubuhkan paraf atau tanda tangan. Naskah tersebut merupakan naskah resmi dan tidak akan diubah lagi. Hal ini dapat pula dilakukan melalui penandatanganan ad referendum atau dengan memberikan paraf yang dilakukan oleh wakil-wakil negara, baik terhadap naskah perjanjiannya sendiri maupun terhadap akta final dari konferensi yang dijadikan satu dengan naskah perjanjian Mengenai adoption of the text diatur dalam Pasal 9. Pasal 9 Adoption of the text 1 The adoption of the text of a treaty takes place by the consent of all the States participating in its drawing up except as provided to paragraph 2. 2 The adoption of the text of the treaty at an international conference takes place by the vote of two thirds of the States present and voting, unless by the same mayority they shall decide to apply a different rule. Pasal 10 Authentification of the text The text of a treaty is established as authentic and definitive a by such procedure as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or b failing such procedure, by the signature, signature ad referendum or initialling by the representatives of those States of the text of the treaty or of the Final Act of a conference incorporating the text. 12 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, tahun 2000, hlm. 107. 13 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta, PT Tatanusa, Indonesia, tahun 2008, hlm. 53. SINAR GRAFIKA Paraf dan tanda tangan dalam rangka otentifikasi belum mempunyai ikatan hukum di antara para pihak. Tindakan otentifikasi adalah suatu tindakan formal oleh para anggota bahwa naskah perjanjian telah diterima oleh para peserta konferensi dan dengan adanya otentifikasi tersebut naskah perjanjian tidak dapat diubah lagi. Dalam praktik kadang-kadang diterima bahwa tahap penerimaan teks dan otentifikasi teks dijadikan satu. Penggabungan kedua tindakan itu untuk efisiensi. Dalam hal wakil-wakil negara yang menghadiri konferensi juga diberi wewenang untuk menandatangani perjanjian tersebut, maka ketiga tahap, yaitu penerimaan naskah, otentifikasi, dan penandatanganan dapat dijadikan satu. 2. Persetujuan Negara untuk Mengikatkan Diri pada Perjanjian Internasional Jika proses pembuatan perjanjian internasional sampai pada taraf persetujuan negara untuk mengikatkan dirinya, maka kita akan menghadapi ketentuan yang diatur oleh ketentuan internasional dan ketentuan nasional. Hukum internasional hanya mengatur bagaimana cara suatu negara untuk terikat pada perjanjian internasional, sedangkan hukum nasional mengatur pejabat negara manakah yang berhak mengikatkan negaranya pada pihak lain dan bagaimanakah prosedur pengikatannya. Pasal 11 Means of expressing consent to be bound by a treaty The consent of States to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed. Jadi menurut Pasal 11, pernyataan negara untuk terikat pada suatu perjan-jian internasional itu dapat dengan penandatanganan pertukaran instrumen yang melahirkan perjanjian, ratifikasi, penerimaan acceptance, persetujuan approval, atau aksesi acession atau dengan cara lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Cara pertama adalah penandatanganan. Suatu perjanjian yang biasanya tergolong perjanjian eksekutif executive agreements, maka perjanjian ini dapat berlaku setelah penandatanganan. Bila suatu perjanjian dapat berlaku setelah penandatanganan maka kesepakatan tersebut dapat dicantumkan pada perjanjian tersebut. SINAR GRAFIKA Pasal 12 mengatur suatu perjanjian yang berlaku setelah penandatanganan. Pasal 12 Consent to be bound by a treaty expressed by signature 1 The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when a the treaty provides that signature shall have that effect; b it is otherwise established that the negotiating States were agreed that signature should have that effect; or c the intention of the State to give that effect to the signature appears from powers of its representative or was expressed during the negotiation. 2 For the purpose of paragraph a the initialling of a text constitutes a signature of the treaty when it is established that the negotiating States so agreed; b the signature ad referendum of a treaty by representative, if confirmed by his State constitutes a full signature of the treaty. Jadi menurut Pasal 12 ayat 1, pernyataan terikat pada suatu perjanjian internasional dengan penandatanganan bila a perjanjian itu sendiri memutuskan bahwa penandatanganan mempunyai dampak untuk berlakunya suatu perjanjian internasional; b bila negara-negara yang ikut berunding terbukti menyetujui hal tersebut; c maksud dari negara-negara yang ikut berunding melalui wakil-wakil negaranya menyebutkan wewenang untuk mengikatkan negaranya dengan penanda tanganan atau dinyatakan dengan tegas pada saat berunding. Untuk melaksanakan Pasal 12 ayat 2 menyebutkan a suatu paraf yang tertuang dalam naskah perjanjian dapat diartikan sebagai penandatanganan bila hal tersebut ditentukan dalam perundingan bahwa negara-negara yang berunding menginginkan demikian; b penandatanganan secara ad referendum oleh wakil suatu negara yang berunding dapat diberikan, asal penandatanganan tersebut dikonfirmasikan kemudian oleh negara yang bersangkutan. Dalam hal penandatanganan secara ad referendum itu maka berlakunya per janjian dapat sah saat perjanjian itu ditandatangani atau pada tanggal ditentukan dalam 14 Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Pembuatan dan Ratifikasi Per-janjian Internasional, BPHN dan Departemen Luar Negeri 1979–1980, hlm. 52. SINAR GRAFIKA Pernyataan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian biasa dinyatakan dengan pertukaran instrumen yang membuat suatu perjanjian. Pertukaran instrumen ini menyebabkan perjanjian itu berlaku bila a instrumen itu sendiri menetapkan bahwa pertukarannya mempunyai efek untuk berlakunya suatu perjanjian; joPvTn.
  • q5839p7c3p.pages.dev/395
  • q5839p7c3p.pages.dev/325
  • q5839p7c3p.pages.dev/343
  • q5839p7c3p.pages.dev/368
  • q5839p7c3p.pages.dev/70
  • q5839p7c3p.pages.dev/249
  • q5839p7c3p.pages.dev/282
  • q5839p7c3p.pages.dev/329
  • q5839p7c3p.pages.dev/74
  • peraturan menurut konvensi wina 1969